Nous part 3
"Thinking of you keeps me awake. Dreaming of you keeps me asleep.
Being with you keeps me alive." But, is there even any chance exist for my
reason to stay alive? at least i want to see you one more time, in my life.
"Merci oncle." Djani keluar dari la boulangerie kecil milik paman tua sembari menggigit baguette alot yang sudah berkawan baik dengan rongga mulutnya. Coat putih gading yang ia kenakan disibak pelan kebelakang agar langkahnya tidak bersinggungan. Paris feels a little bit warm these days, membuat pria paruh baya itu tidak terlalu mengetatkan coatnya menyelimuti tubuh seperti yang biasa ia lakukan tempo hari. Penampakan Djani sehari-hari hanyalah rupa pejalan kaki formal, bedanya hanya pada baret merah yang tertanam rapi pada puncak kepala, serta gulungan kanvas menyembul dibalik tas selempang besar layaknya tukang pos atau penjual koran. Beberapa manusia yang berwara-wiri kerap kali salah paham tanyakan highlight surat kabar atau sekedar kritisi mengapa surat mereka tak pernah sampai tujuan. Kebanyakan dari mereka adalah yang sudah menginjak usia senja, sehingga Djani perlu jelaskan bahwa ia disana untuk melukis orang yang rela membayarnya, bukan untuk menawarkan koran ataupun antarkan surat.
"Je suis désolé jeune homme, je suis trop vieux pour penser que tu es un peintre plutôt qu'un facteur. [maaf anak muda, saya sudah terlalu tua untuk mengira kamu pelukis daripada pengantar surat]" satu dari mereka yang salah paham meminta maaf pada Djani, pria tua ini tampak familiar dengan uban jenggot lebat yang menutupi hampir sebagian wajah keriputnya.
(Karakter hanya fiksi. Potrait diatas hanyalah ilustrasi.)
Djani menerawang pandangannya sebentar sebelum mulutnya membeo teringat sesuatu. Tentu saja! Ia adalah kakek yang kerap menjaga pohon apel di kota. Rumornya, ia gila karena ditelantarkan di rumah asuh lansia, ditinggal mati belahan hati, tanpa pernah miliki keturunan. Rumah satu satunya diratakan dengan tanah yang saat ini menjadi bagian luas la concorde, hingga hanya sisakan pohon apel bekas pekarangan. Dikatakan bahwa pemerintah kota Paris yang mengurus infrastruktur disana sengaja menyisakan pohon apel itu tetap berdiri kokoh pada tempatnya, agar la concorde tidak memberikan kesan gersang.
Disclaimer!
[semua dialog diibaratkan dalam bahasa Perancis]
"Mr, apakah perlu saya antar pulang?" Djani langsung berikan penawaran kali pertama mulutnya ucapkan kata, lantaran pria itu semakin tunjukkan gelagat perlu istirahat. "Oh, non non, orang tua ini hanya butuh menjenguk pohon apelnya diujung sana." Timpalnya sembari membuat gesture menyilangkan tangan.
"Jadi semua yang diceritakan orang orang itu benar adanya. Cerita ini bukan fiktif!" Batin Djani berseru setelah mendengar tuturan si pria tua yang menyebut pohon apel kedalam kalimatnya.
"Lalu bagaimana kalau saya antar ke tujuanmu monsieur?"
"un honneur pour moi. Tapi aku butuh koran sebelum kita pergi."
Tentu saja, jangan lupakan fakta bahwa insiden kesalahpahaman koranlah yang menuntun mereka bisa bertukar sepatah dua patah kata, terhitung dari sepuluh menit terakhir. Djani yang sejatinya tak tertarik dengan berita, memilih tidak menjawab dan hanya mengikuti pria itu berjalan membelah sunyi, hasilkan merpati yang awalnya bergerombol mematuk tanah, pergi kepakkan sayap dan bertengger di dahan-dahan. "d'ailleurs Mr, tapi kita belum bertukar nama." Sela Djani ditengah perjalanan mereka. Pria itu kemudian menepuk dahinya pelan "Oh non, comment pourrions-nous oublier. [Oh tidak, bagaimana kita bisa lupa]." Jawabnya diiringi dengan kekehan berat.
"Raymond Saber. Tetapi orang lebih sering memanggilku dengan sebutan Lansia Gila." Tangannya diulurkan seolah mereka baru bertemu dua detik lalu. "Djani Cokroatmojo. Tetapi orang lebih sering memanggilku dengan sebutan Pelukis Jalanan di Distrik Paris." Tangan Djani menjabat balik seraya tangan kirinya menepuk bahu Mr. Saber pelan. Sebabkan keduanya tertawa lepas, ciptakan atmosfer yang membuat Djani lebih hidup ketimbang sebelumnya. "Such an honneour to know you Djani, tapi aku harus membeli koran terlebih dahulu. Ikutlah denganku jika ingin melihat-lihat." Lontaran tersebut membuat yang diajak bicara sedikit terkejut karena ia kira Mr. Saber hendak mencari penjual koran keliling, namun kini justru mereka bergeming didepan toko buku.
"Oh bien sûr, aku ikut denganmu Monsieur." Ia mempercepat langkah hendak menyusul orang tua itu. Rambut gondrongnya terkibas angin lembut sebelum akhirnya... Ting! loncengnya berdenting saat pintu terbuka, bau kertas juga menyeruak kala tubuh Djani sepenuhnya memasuki ruangan petak dengan interior vintage yang memanjakan mata. "Baca baca saja lebih dulu, disini banyak koleksi novel romansa karya penulis ternama." Mr. Saber berbisik pada Djani yang terlihat bingung. Yang diajak bicara hanya tersenyum canggung karena sebetulnya Djani jarang menyentuh buku, ia kerap menghabiskan waktu luangnya dengan melukis, melukis, dan melukis.
"Jangan mencari karya Marquis de Sade. Tentu saja itu tidak dipampangkan. Kecuali jika kamu bertanya dengan pemiliknya." Mr. Saber mengerlingkan sebelah matanya sebelum menghilang dibalik rak rak kayu tinggi penuh buku berjejeran. Tinggalkan ekspresi bertanya-tanya pada wajah Djani. "Laki-laki aneh, siapa juga yang membaca novel erotis Marquis. Memang tidak salah orang-orang memanggilnya Lansia Gila." Batinnya sedikit dengan nada kesal.
Ketika Djani mulai sibuk dengan buku biografi the living legend 'Leonardo Da Vinci' di toko buku itu, tiba tiba ujung matanya menangkap warna biru yang membangunkan nyawanya hingga kini ia terlonjak. Warna biru yang familiar. Warna biru yang melekat pada rambut sosok wanita yang akhir akhir ini terus membayangi langkah Djani, menghadiri disetiap mimpi. Dan yang membuatnya rasakan jatuh cinta lagi. Musician ada disini, duduk di tepi... namun dengan seorang lelaki.
Komentar
Posting Komentar